• About
  • Contact
  • Sitemap
  • Privacy Policy

Satu Yang Esa

 on 4 September 2013  



            Sore baru saja datang tapi bagi pria muda bernama Saka, sore hari adalah sebuah momentum sebelum terciptanya keheningan total yang setiap hari dia dambakan. “biarkan malam datang dengan cepat karena hanyalah dia yang ku punya’’ celoteh saka sembari menatap gumpalan awan yang akan segera membawa lembayaung kehadapannya.

             “Ephineprin” habis, untuk rumah sakit sebesar ini? Tanya perempuan muda bermata sipit dengan nada heran.
“ya mau bagaimana lagi!? Jawab temannya sengit.


“yasudah, kamu jaga dulu pasien ini! Aku akan kembali dengan ephineprin.
“tapi...! sanggahan dari teman satu profesinnya itu hanyalah angin lalu untuk Mauren, seperti angin dia pun melangkah. meski mauren baru setahun menjadi perawat tetapi dedikasi yang ditunjukan, perempuan muda berkulit putih pualam itu tak diragukan lagi.
             Dalam bayang-bayang lamunannya sering kali hinggap masa lalu kelam, bagi seorang mantan residivis kambuhan seperti Kamil itu mungkin hal yang wajar. bersusah payah merangkak keluar dari jurang gelap dengan niat di hati dan akhirnya kamil pun bebas dari belenggu tersebut. kini dia telah menjadi seorang ustadz, hampir enam bulan gelar ini tersematkan padanya, sosok durjana bermetamorfosis, lalu terbang seakan meninggalkan jati dirinya terdahulu.
             Aku melihat aji serta menggambarkannya ibarat dadu yang mempunyai nilai di setiap sisi pada alasnya. sebelas tahun aku mengenalnya sebagai seorang teman atau bahkan sahabat mungkin dapat dibilang lebih dari keduanya, entahlah. kekariban kami bukan tanpa cela itu setidaknnya untuk setahun belakangan, aji yang ambisius sering menuturkan ide-ide dahsyat yang kupikir tidak rasional.
aku mencoba berargumen dan meluruskan ide-ide tersebut tapi ambisinya itu menentang ku terang-terangan, kerutan diatas alis tebalnya pun ikut menambahkan torsi keambisiusannya.
ku tatap lagi lembayung yang hanya tinggal segaris, malam telah datang dan aku juga menyambutnya dengan senang. kini aji telah menghilang meninggalkan memori sebagai sahabat, setelah pendapat dan argumentasi ku tak dibiarkan meluruskan gagasannya.
“asa dan kita akan bersua” itulah kalimat yang diucap aji sebelum pergi menghilang.
biarlah dia mencari dan mengkajinya dalam rengkuhan jalan yang dikehendakinya.
             Aku masih tetap termangu menatap langit yang sekarang telah berubah warna. kumandang adzan magrib beberapa saat lalu terdengar namun ku biarkan begitu saja, hanya ku dengar saja dan tak lebih dari itu. sepertinya memang aku bukanlah seorang hamba yang taat.    
               Menjadi seorang pemuka agama bukanlah sebuah pilihan, tetapi bagi mantan residivis hal ini adalah proses perjalanan hidup alih-alih rencana tuhan. begitulah kamil berpendapat tentang dirinya sendiri, seminggu sekali pria tersebut kerap memberikan tausiah kepada jemaah masjid dikampung ku. tak hanya itu saja karena setiap harinya pria berjenggot tebal itu juga rajin menyambangi masjid untuk beribadah. Aku tak pernah bosan menatapi kesehariannya walau hanya sebatas memperhatikan dari beranda rumah ku saja.
terkadang pikiran ku bercita-cita seperti dirinya terlihat sempurna jiwa raga selalu dekat dengan sang pencipta, namun apakah itu benar-benar kesempurnaan yang nyaman untuk dijalani.
aku mengabaikan pemikiran tersebut pada akhirnya. karena  aku rasa banyak sisi yang belum dapat ku tangkap dari kehidupan pemuka agama layaknya kamil.
              Perempuan muda berseragam perawat berjalan dengan anggun di jalan beraspal yang terdapat pada sebuah kecamatan pinggiran kota. pagi ini sang perawat kembali menjalani rutinitasnya.
“Saka! Sapanya kepada ku.
“Mauren, berangkat ya?
“iya. Katanya lagi sambil berlalu.
aku selalu melihat mauren sebagai perempuan muda yang berusaha tampil lembut apa adanya, dan semua hal tersebut membuat ku berdecak kagum atas dirinya. hanya rasa kagum dan tidak lebih dari itu. hampir setiap hari dia melalui jalan ini dan hampir tiap hari pula aku melihatnya secara disengaja ataupun tidak.
               Aku kembali ke teras rumah untuk menyeruput cairan pekat yang mengepulkan asap tipis. ditemani kopi yang sudah menjadi tradisi aku pun kemudian menulis puisi tentang pagi hari.  seperti halnya hari-hari lain kesendirian membuatku  terlarut, entah itu pagi hari, siang, atau pun malam. karena kenyataannya aku memang hidup seorang diri dirumah ini.
ibu telah meninggal dunia saat umurku baru dua belas tahun, saat itu aku baru hendak lulus dari sekolah dasar. setelahnya otomatis aku hanya tinggal bersama bapak, tidak ada adik atau kakak cuma ada aku sebagai anak tunggal.
bapak ku seorang pegawai negeri yang menjabat sekertaris lurah ketika itu. saat aku Sma sering kali terbersit angan-angan untuk menjadi seorang PNS seperti bapak, upah yang menjanjikan, tanggungan sana-sini, sampai tugas mulia melayani masyarakat. dan dengan tolak ukur tersebut lah angan-angan ku terekonstruksi. Namun naif karena beberapa bulan kemudian angan-angan itu berubah bagaikan anai-anai yang tersapu angin lalu hilang tanpa bekas.
              Bapak berkisah sepulangnya dia bekerja bersama air muka yang Nampak merah padam menahan amarah.
“pak lurah diperiksa oleh tim BPK tingkat provinsi, dia dicurigai menggelapkan dana kesehatan untuk sejumlah puskesmas! Pantas, bedebah itu tak menyerahkan rekapaan audit bulan lalu ke bendahara. Ungkap bapak dengan sedikit makian.
awalnya aku tak percaya begitu saja cerita bapak, tetapi keesokan harinya aku melihat pemberitaan televisi. Pak lurah yang tadinya berpredikat bijak itu muncul di tv sebagai tersangka kasus penggelapan dana kesehatan. Fakta yang ku temukan lantas membuat diriku kecewa,
angan-angan ku terbunuh, lantaran kebencian yang teramat sangat.
semenjak peristiwa itu aku semakin giat membaca buku-buku tentang ultra-nasionalisme. setidaknya aku berharap buku-buku tersebut dapat mempertebal rasa kecintaan ku terhadap tanah air. Lurah picik itu dulu seharusnya banyak membaca buku-buku bertema seperti ini. gumam ku dalam hati. Sudah terlambat, lagipula dia pun telah murtad dari amanat yang diberikan rakyat.
              Cerita itu bisa dibilang cerita terakhir yang dikisahkan bapak. Sebab setahun dua bulan setelahnya bapak menghembuskan nafasnya untuk yang terakhir kali. Lalu jadilah aku sebatang kara, dan tinggal dirumah peninggalan orang tua ku seorang diri.
bapak  meninggalkan dana pensiunnya, yang kini ku pakai untuk memenuhi kebutuhan hidup tiap bulan. Serta ditambah uang sewa dari dua petak rumah kontrakan yang sebagian uangnya aku tabung di bank. 
               Dalam rimba beton, polusi merajalela akhir pencarian aji semakin dekat dengan kata hatinya.
“tiga hari lagi, saya akan lakukan eksekusi. Jawab pria muda diujung telepon.
“apa tidak terlalu buang waktu, sampai tiga hari? Balas suara datar dari ujung telepon lainnya.
“saya butuh pengamatan serta detail ruang lingkup kehidupan target, jadi saya rasa tiga hari tidaklah berlebihan.
“oke, saya tunggu beritannya! Dan ketika berita muncul saya akan transfer sisanya. Kata lawan bicara pria muda tersebut menjelaskan.
“saya paham! Singkat si pria muda, lalu bunyi klik dari suara gagang telepon ditutup menyudahi percakapan yang terdengar penting itu.
                Aji berlari ke ibukota dengan ambisi, ketika chauvanishme meracuni nurani. Pemuda yang menjadi bintang kelas sedari Smp sampai Sma tersebut tak peduli lagi dengan semua pujian tentang dirinya dahulu. Hegemoni perihal otaknya yang dapat dibilang super itu pun menguap tanpa arti. Sedikitmya dua universitas kenamaan menawarkan beasiswa untuk dirinya, namun aji lebih memilih jalan bebas otodidak seperti halnya yang banyak dilakoni oleh pahlawan-pahlawan bangsa ini zaman pra-kemerdekaan dulu.
semasa remaja aji sering kali bertukar pinjam buku dengan saka, buku bacaan milik saka yang banyak terdiri dari buku filsafat dan ideologi politik memikat hatinya. Tiap hari rapalan bacaan buku karya Karl Marx menjadi kawan istirahat sekolah, malam menjelang tidur giliran
 Il Principe: Niccolo Machiavelli yang menjadi kawan menuju mimpi. Bagai terdoktrinasi pemikiran remajanya saat itu, alhasil berimbas pada pencitraan serta perangai aji yang sekarang.
                Matahari begeser ke perkampunagan diarah barat daya ibukota. Pria berbusana koko’ dengan menggunakan sarung sebagai bawahannya nampak terpekur khidmat menatap surat undangan yang berada ditangannya. Undangan ceramah dari kampung sebelah membuat wajah ustadz Kamil bahrudin tersenyum ramah. Sekilas pandang senyuman itu terasa menyejukan karena si empunya terlihat ikhlas melemparkannya.
“lusa hari. Pungkasnya dalam batin, sambil bangkit dari kursi untuk mendalami materi demi panggilan ilahi, begitu pikirnya pada diri sendiri. Kemudian suara azan ashar yang dilantangkan oleh pengeras suara berseru. Seperti terhipnotis kamil pun dengan segera mengikuti suara tersebut keluar rumah, menuju masjid tanpa peduli pada materi ceramah yang sempat terpikir untuk dikerjakannya barusan.
                Ku lihat ustadz kamil berjalan kearah masjid sekembalinya aku dari warung, langkah kakinya tampak begitu gancang, cekatan. tak seperti biasanya oceh otakku dengan sendirinya sembari menutup pintu besi yang berdecit karena engselnya aus termakan karat.

“aku pulang. Kata mauren ketika sampai dirumah.
“tumben, hari ini pulangnya cepet? Tanya perempuan tengah baya kepadanya.
“lagi gak macet mah! Balas mauren agak datar.
“oh, gitu. Kalo kamu mau makan tuh udah disiapin dimeja makan, tadi juga kakakmu habis makan.
“iya, nanti mah habis mandi.
                Mauren berlalu masuk ke dalam kamarnya dan langsung merebahkan diri diatas kasur empuk yang dihiasi bed cover bermotif bunga-bunga berwarna cerah dan perlahan matanya pun mulai ikut meredup. Rambut mauren kusut masai. seragam perawat yang sejak tadi belum ditanggalkannya pun terlihat lusuh tergilas tubuhnya sendiri, disaat kelelapan membuatnya tak sadar untuk tiga jam lamanya. Mauren mulai bangkit dari tidurnya lalu mencoba merenggangkan persendian yang terasa kaku, seirama dengan itu mulutnya pun terbuka lebar untuk mencari udara dan seperti yang biasa ia lakukan bila sedang menguap salah satu tangannya, menutupi bagian depan bibir berwarna merah mudanya tersebut.   
                  Aku masih berpikir tentang apa pekerjaan yang layak untuk ku. Di usia yang tak bisa dibilang remaja lagi, asas kedewasaan diri kian menuntut ku melakukan perubahan secara fundamental.
aku selalu disibukan dengan pemikiran-pemikiran tentang masa depan, yang sering kali membuat ku mengerutkan dahi ketika memikirkannya. Transisi psikologis yang ku anggap klasik, pencarian jati diri harus lah tak berakhir tragis. Tetapi berpikir terlampau lama juga tidak dibenarkan, karena waktu sangat cepat berlalu. Ku torehkan kalimat terakhir tadi dibuku yang tengah ku pegang dilengan kiri. Aku tiba-tiba teringat buku-buku psikologi yang kerap ku pinjam dari aji. Memang benar jika kami sering bertukar pinjam buku, tapi anehnya kami tak pernah sekalipun berniat mengembalikan buku-buku tersebut kepada pemiliknya. Buku-buku itu milik kami dan hingga kapanpun tetap milik aji dan saka.

                  Malam telah larut anginnya mulai menggoda sela-sela tulang, disaat rintik gerimis turun dari langit yang kelam. Aku masuk kedalam rumah meninggalkan beranda, setelah mengunci pagar dan pintu.
ruang keluarga terasa hangat, meski hangatnya tidaklah sebanding dengan dua belas tahun yang lalu.
                 Fajar menyingsing menyergap kegelapan malam yang telah berakhir bertugas. Telepon genggam milik aji berdering beberapa saat, suara dingin diujung telepon terdengar menyapa.
“seharusnya ada secangkir teh menemani anda pagi ini.
“teh selalu terasa masam dilidah bagi saya. Sambung aji dengan aksen angkuh yang dia ciptakan.
“seperti hal nya  kopi saya rasa! Pria diujung telepon itu kembali menimpali.
“jadi kita hanya berbicara  tentang kopi dan teh pagi ini? sungguh disayangkan. Jawab aji kembali.
“anda selalu berhasrat, serta fokus pada tujuan saya kagumi itu! Anda tahu Rs.Resort Medika ditengah kota?
“domba, berada disana melakukan medical check up rutin. Tandas pria tanpa nama menuturkan.
selanjutnya pria tersebut kembali menambahkan.
“ada baiknya jika hal ini dibereskan sebelum waktu makan malam! karena saya menyediakan bonus untuk poin tersebut. good luck. Dan percakapan pun usai secara jelas.
Aji sudah siap lahir batin untuk melakukan tugasnya, ini memang bukan yang pertama tapi entah mengapa ada ganjalan dalam pikirannya kini.  Hampir genap setahun karakter pembunuh bayaran, dia geluti sebagai profesi. darahnya yang telah lama dingin seakan menghangat, menimbulkan keraguan akibat suatu intuisi tanpa sebab, yang tak dapat dijelaskannya. Kemudian dia sesapkan kembali kopi kedalam mulut hingga tinggal menyisakan ampasnya saja. lalu kedua tangannya meraih sebuah map, yang berisi foto serta nukilan surat kabar tentang ruang lingkup si target. Dia amati map itu dengan seksama, dan aji pun beranggapan bahwa cara tersebut dapat menghilangkan ganjalan dalam pikirannya.
                  Pukul 06.30 pagi angka tersebutlah yang ditunjukan oleh jam dinding. Tak seperti hari biasanya karena aku bangun lebih awal kali ini. selepas sholat subuh dirumah, aku lantas duduk dimuka televisi untuk menonton berita pagi, yang kata orang adalah berita segar nan penuh parodi. Korupsi lagi dan lagi, memuakan ketika menatap wajah hukum yang terombang ambing labil dihadapan maling berdasi. Nyolong singkong sebiji dibayar bui, menggelapkan uang rakyat diadili bak opera sabun mandi.
terkesima akan media, aku sampai lupa membuat kopi untuk yang kedua kali. Sampai berita yang akhir-akhir ini menyita perhatian ku kembali diulas. Sontak saja minat ku untuk membuat kopi teralihkan ke layar kaca berbentuk kotak tersebut.
pahlawan radikal yang mana hanya sering dijumpai dalam komik itu kembali diberitakan yang menjadi korban sekarang adalah mantan menteri. Jika dihitung sejak kemunculannya setahun lalu, setidaknya ada delapan modus kasus pembunuhan politisi korup yang sama. Aku pun sempat mengkliping potongan Koran tentang rangkaian kasus-kasus pembunuhan itu.
kebanyakan masyarakat menyebut si tersangka sebagai pahlawan radikal, sosok mr. x yang  belum terungkap ini menimbulkan banyak spekulasi dikalangan petinggi negara. Layaknya bola salju yang menggelontor dari atas lereng gunung, aparat kepolisian pun bekerja keras untuk mengungkap indentitas “pahlawan radikal”.
aku sempat teringat komentar kepala mabes kepolisian beberapa waktu lalu,
“tim, kami tengah menjalin dan mengembangkan penelusuran tentang tersangka, ini kasus besar. pembunuh berantai tak bisa dibiarkan bebas begitu saja! pungkasnya kepada media yang ku saksikan dari rumah kemarin. Sang pahlawan radikal samar-samar terlihat seperti refleksi ide ambisius aji, namun aku masih belum ingin memikirkan hal itu lebih jauh. 
Setelah sempat membuat kopi, aku pun menuju teras dengan meninggalkan tv yang masih dalam keadaan menyala.
wajah gadis oriental itu nampak sedikit pucat, ketika melintas mewarnai jalan utama dikampungku. kupandangi gemulai geraknya dari balik krey bambu diteras rumah. Pakaian dinas perawat yang dikenakannya seirama dengan kulit putih perempuan muda tersebut. pejalan kaki yang di dominasi oleh perempuan dan anak sekolah ikut meramaikan hiruk pikuk jalan. Pedagang buah yang setia memikul hasil kebunnya pun seakan tak mau kalah dengan para karyawan swasta yang menggunakan sepeda motor. Pemandangan rutin ini tak pernah membuat ku jemu.
                  Memasuki pukul delapan pagi, waktu matahari masih tertutup awan mendung yang datang tanpa permisi. Di sebuah kedai minuman, Aji nampak mengamati keadaan rumah sakit yang berada di seberang kedai itu. kedua belah matanya terbuka lebar bak predator mengintai mangsa. gerak-gerik aji dapat dibilang tidaklah terlalu mencolok karena lelaki ini memang terkenal professional dalam aksinya. Meski demikian aji pun mempunyai prinsip yang berguna sebagai konsep, serta acuan bagi dirinya sendiri. lelaki tersebut telah berikrar bahwa cuma politisi korup sajalah yang boleh menjadi calon korbannya, tanpa terkecuali.
si jenius yatim-piatu ini pun seolah siap mati demi sebuah keyakinan yang dia percayai.
seandainya aji sadar bila hal itu hanya delusi, mungkin apa yang sudah dilakukannya tak perlu terjadi.

“di ruang konsultasi ada pasien medical check up, kamu tolong ukur tensi darahnya terlebih dulu! untuk nanti diteruskan ke Dr. Panji.
“baik bu. Jawab mauren menyanggupi perkataan dari kepala staf perawat.
selang beberapa saat setelah mauren masuk ke ruang konsultasi, dia pun baru mengetahui jika pria paruh baya yang akan menjalani medical check up tersebut adalah menteri penerangan. wajahnya tak asing bagi mauren karena rupa pria itu memang sering muncul akhir-akhir ini di halaman koran pagi yang kerap dibaca olehnya.
                Sementara di pelataran rumah sakit, aji telah bergerak untuk melancarkan aksi. Situasi sekitar yang dianggapnya telah terbaca terkesan memberikan peluang bagi dirinya. dengan ketenangan yang hampir tidak dimiliki oleh orang awam, aji pun masuk kearah bangunan bertingkat lima tersebut. ketika sampai dimuka meja resepsionis, aji melakukan sedikit keahliannya berimprovisasi dengan berdalih menjenguk kerabat yang sakit. hasilnya mudah ditebak, aji tentu saja mampu mengelabui petugas rumah sakit itu.
di saat yang bersamaan perempuan muda berseragam perawat terlihat baru saja keluar meninggalkan ruang konsultasi bersama papan tripleks yang didekapkan ke dadanya.
langkah kakinya landai seakan menandakan bahwa dia tidak sedang terburu-buru.
dari arah yang berlawanan aji kini tengah menyusuri lorong berdinding putih, di kiri dan kanan lorong banyak terdapat ruangan. Setiap ruangan mempunyai label yang tercetak menggunakan ukiran pernis berwarna jelas. Laju aji statis, pandangannya menyorot kedepan, degupan jantungnya pun juga teratur. Sampai sosok perempuan muda berbalut pakaian perawat berpapasan dengannya, dan kemudian menyapa aji.
“Saka!?
untuk beberapa detik aji terdiam tak menjawab, cuma pandangannya yang beralih kearah benda yang tersemat di kostum perempuan perawat itu. “Mauren”. Terangkan name tag tersebut pada aji.
“maaf,  mbak mungkin salah orang! Balas aji datar.
mauren dibuat bingung, karena dia benar-benar merasa mengenal pria tersebut.
“dia memang saka, tetapi kenapa pria ini menyangkalnya?”. Mauren bertanya pada nuraninya sendiri.  sementara mauren hanya mampu tertegun dengan tanda tanya yang mengitari otaknya, pria aneh itu pun berjalan melewati dirinya, tanpa acuh.

                Menjelang siang mendung makin menghalangi matahari untuk menyinari bumi, ustadz kamil tersenyum ramah disela perbincangannya dengan abdul adiknya.
Abdul yang keseharianya bekerja di kios pulsa milik kamil, Nampak menganguk-anguk saat si kakak berbicara padanya. Secara rutin dalam dua minggu sekali kamil menyambangi konter pulsa tersebut untuk mengambil uang setoran. Konter pulsa miliknya dapat dibilang sederhana, namun terasa lengkap karena juga menjual aksesoris handphone serta beberapa ponsel buatan cina yang harganya relatif murah. Usaha kamil berawal dari modal yang dia pinjam di koperasi kelurahan setahun lalu. Hidayah dari sang maha esa memberi jalan padanya, niatan baik kamil untuk kembali ke jalan yang lurus pun terangkai dengan syahdu sesudahnya.
Sepulangnya ustadz kamil dari kios dia langsung menuju mesjid untuk sholat berjamaah, begitu urusannya dengan tuhan selesai, kamil pun lantas kembali ke rumah. Kemudian setelah makan siang dan bersantai sejenak ustadz kamil memulai kegiatannya membuat bahan tausiah untuk esok pagi.
               Pria muda itu nampak memandangi lekat-lekat gambar wajahnya di cermin.
tak ada kata yang keluar dari bibir pria tersebut. Hanya kedutan-kedutan dibawah matanya yang seolah menatap bengis kearah sosok dirinya di dalam cermin.
               Lelaki paruh baya didepan wastafel yang tengah sibuk membasuh tangannya, terlihat mencuri pandang kearah pria muda yang berada tepat disampingnya. mimik wajahnya menggambarkan tentang suatu teguran, tetapi dia segera mengurungkan niatnya tersebut lalu keluar dari ruangan itu.
               Mauren terkejut, ketika dengan tiba-tiba ada sebuah tepukan kecil dipundaknya.
“Oh, kamu! Kata mauren dengan sedikit terengah.
“Kamu kenapa? Kaya habis lihat setan saja. Timpal wanita yang mengejutkannya tadi.
“Aku gak kenapa-kenapa. Cuma sedang emhh, memikirkan sesuatu.
“Melamun dilorong ya? Hati-hati lho nanti bisa kena omel kepala perawat! Balas teman satu profesinya coba memperingati.
“Iya, aku tahu. Yasudah aku mau kasih hasil ini dulu ke Dr.Panji. pungkas mauren, lalu berjalan meninggalkan temannya yang terlihat bergumam “Tumben, sikapnya aneh”.
               Aji telah mantap menguasai raganya, namun dalam pikirannya seakan ada jiwa yang menggedor tempurung kepalanya untuk meminta dilepaskan. Langkah tenang yang biasa hadir berubah tergesa, meski tak ada bulir keringat yang mengucur nafasnya terdengar memburu. Sementara matanya picik menerawang sosok pria beruban yang diapit oleh dua pria lain yang berbadan tegap di ujung lorong. Kemudian, dengan gerakan yang perlahan Aji mengeluarkan sepucuk revolver dari balik jaket disaat jarak buruannya itu dirasa cukup dekat. Tangannya telah mengacungkan revolver dan pintu ruangan yang berada disebelahnya pun terbuka.
“Ajisaka! Pekik perempuan itu terdengar tertahan.
Sosok pria yang tengah siap menembak menoleh sesaat, binar matanya menyiratkan suatu hal yang tak dapat ditangkap oleh perempuan tersebut. “Mauren”. Katanya kemudian tanpa emosi. Lalu terdengar desingan peluru memekakan telinga dan suara itu sekali lagi menggema, ada jerit histeris setelahnya. Perempuan itu hanya tertegun manatap hampa sosok pria yang kini terkapar dengan menggengam senjata api yang belum sempat di tembakan. Ada darah yang merembas keluar dari dada sosok pria tadi, matanya terkatup rapat seakan mengisyaratkan bahwa dia tak lagi bernyawa.
   
               Mendung telah menghadirkan hujan sejak sore, hingga pertengahan malam gerimis pun masih setia membasahi bumi, menciptakan keraguan apakah mentari akan hadir nanti pagi. Dan nyatanya gerimis pun reda sebelum kumandang azan subuh dilantunkan.
               Kamil sedikit bersolek setelah menunaikan sholat wajib dua rakaat, sorban yang melingkari peci dikepalanya di betulkan letaknya beberapa kali hingga di rasa cukup. Maklum meski sudah berulang kali memberi tausiah untuk masyarakat, hal itu hanya sebatas dikampung sendiri saja. Belum ada panggilan tausiah besar seperti sekarang ini untuknya.
               Pukul tujuh kurang seperempat, suara motor bebek terdengar berhenti dihalaman rumah Ustadz Kamil bahrudin.
“Assalamualaikum, ustadz! Panggil pria muda yang baru saja turun dari sepeda motor.
“ya, Walaikum salam. Timpal suara lelaki lain dari dalam rumah, sembari membuka pintu.
“jalan sekarang, nih!? Sergah kamil, terdengar agak canggung.
“saya sih ayo aja, kalo pak ustadz udah siap.  Jawab pria muda lawan bicaranya dengan tenang.
“sudah siap saya, ayo kita jalan sekarang!? Kata kamil dengan seulas senyum setelahnya.
               Tanpa kembali bertanya pria yang bertugas menjemput kamil dengan segera memutarkan motor bebeknya. Sesudah mengunci pintu rumah, ustadz kamil kemudian membonceng dibelakang motor si pemuda tadi.
               Umbul-umbul satu warna menghiasi jalanan kampung sebelah, Kamil memandang sekilas spanduk yang melebar di antara dua tiang listrik. Lalu mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu.
“Itu pak Harjo kan?
“Bener, Ustadz itu pak Harjo. Jawab pria yang sedikit memiringkan kepalanya, lalu dengan cepat memalingkan kembali kepalanya kedepan.
“Dia  pengen jadi Caleg?
“Lagi-lagi dengan memiringkan kepalanya pria itu pun menjawab. “Ya begitu Ustadz, dari infonya sih dia dicalonin sama adiknya yang udah lama jadi ketua cabang Partai Abal-abal.
                Teriknya mentari seakan melupakan mendung serta hujan yang semalam datang. Ustadz Kamil bahrudin mengucapkan syukur dalam hatinya ketika baru saja turun dari panggung selepas menyiarkan tausiah. Wajahnya berbinar gembira namun banyaknya bulir peluh yang terlihat pada dahinya seakan-akan ingin menyatakan maksud lain.
Lelaki paruh baya berperawakan sedang dan menggunakan peci hitam pada kepalanya menghampiri sang ustadz.
Sambil tersenyum ramah lelaki itu berkata.
 “ Makasih ya, ustadz sudah mau hadir dalam undangan saya”.
 “Sama-sama pak harjo saya juga ingin ngucapin hal yang sama atas jamuannya” Balas kamil.
“Tidak usah sungkan ustadz, memang sudah jadi kewajiban saya selaku tuan rumah, buat menjamu”. Dan lelaki tersebut menambahkan “Mari kerumah saya dulu kita lanjutkan ngobrol-ngobrolnya disana!?”. Pinta lelaki itu.
 “Oh, ya…Baik kalo gitu. Sambung kamil mengabulkan.
                 Sesampainya dihalaman rumah Pak harjo Nampak obrolan mereka semakin mengalir dan terbuka, terlebih lagi karena disana adik pak harjo yang ketua cabang partai abal-abal ikut mengobrol bersama mereka.
“Bagaimana pak ustadz dengan tawaran saya? Tanya adik pak harjo yang berkumis tipis.
“Ehmm…gimana ya pak, masalahnya saya itu belum pernah punya pengalaman jadi Tim Sukses. Jawab Kamil bahrudin berusaha menutupi kecanggungannya.
“Semua itu bisa diatur, biar nanti saya dan mas harjo yang ngasih arahan langsung buat pak ustadz”. Balas lelaki itu sembari membetulkan letak gagang kacamatanya. “ Ya sekarang kita tinggal tunggu keputusan bapak saja!?
Ustadz Kamil bahrudin mencoba berpikir sejenak, dipandanginya kedua wajah lelaki kakak beradik itu. Kemudian dia menjawab “Jika memang bapak-bapak butuh bantuan saya, Baiklah saya akan coba bantu semampunya”. Kata kamil dengan sedikit penekanan pada intonasi suaranya. Seakan telah membulatkan tekad.
“Saya tak salah pilih. Pak ustadz memang benar-benar orang yang cocok menjadi Tim Sukses saya. Kata pak harjo dengan senyuman tipis yang ramah.
                 Kamil bahrudin telah menyelesaikan kewajibanya memberi ceramah dikampung sebelah, Semuanya berjalan lancar. Sebelum azan mahgrib berkumandang kamil duduk terhenyak dikursi kesayangnya dirumah seraya sibuk membolak-balik gepokan uang yang dipegangnya “Empat puluh lima juta” gumamnya. Imajinasinya terbang tanpa arah, sesaat kemudian pria tersebut tersenyum lebar yang hampir terlihat seperti seringai. “Ini adalah hidup apapun bisa terjadi” gumamnya kembali. Senyum dari bibirnya kini berubah menjadi tawa tertahan. azan maghrib telah berkumandang seruan itu terdengar mengalun beberapa waktu diudara dan lambat-lambat menghilang bersama denging pengeras suara. Ustadz kamil bahrudin masih terhenyak dalam buaian imaji matanya nyalang menatapi gepokan kertas berbau khas tersebut, sementara seruan Iqomah yang dilantunkan oleh pengeras suara mesjid terdengar agak perlahan. 

SELESAI.

Satu Yang Esa 4.5 5 Dansde 4 September 2013             Sore baru saja datang tapi bagi pria muda bernama Saka, sore hari adalah sebuah momentum sebelum terciptanya keheningan ...


2 komentar:

  1. wowwww, saya hampir saja memindah cerita ini setelah membaca seperempatnya, tapi saya urungkan karena masih tidak ada kerjaan, sampai di tengah cerita saya lumayan kaget dengan alur yang tidak saya sangka, bagi saya cerita ini cukup bagus dan menarik, tapi jujur saja saya masih agak sedikit harus membaca berulang agar bisa sedikit paham dengan cerita masing-masing tokoh dan juga agak kerepotan dengan pengaturan setiap paragrapnya yang agak rumit, mohon maaf dan jangan anggapn ini kritik, tapi secara keseluruhan saya acungkan 2 jempol buat Mas dann dee atas ceritanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. kritik membangun itu yg saya harapkan :)
      makasih atas jempolnya btw mau dipindahin kemana nih ceritanya, kalo udah gak ada kerjaan ?


      Hapus

Pembaca yang bijak selalu meninggalkan jejak dengan berkomentar.
REGARDS

Terima Kasih Telah Datang

J-Theme